Simon Santoso berada di ujung pintu pelatnas Cipayung. Target masuk
babak semifinal di Korea Super Series dan Malaysia Super Series Premier
yang dibebankan kepada Simon hanya mampu dijawab Simon dengan hasil
babak pertama di Korea dan tak lolos babak kualifikasi di Malaysia.
Ultimatum Rexy sudah dikeluarkan dan kini semua harus siap dengan
konsekuensinya. Simon sendiri sudah tampak pasrah dengan kepastian
statusnya di pelatnas Cipayung. Simon telah menegaskan bahwa dirinya
siap jika memang harus keluar dari pelatnas Cipayung. Namun sudahkah
sektor tunggal putra pelatnas siap kehilangan Simon?
Berbalik ke belakang, Simon sudah disebut-sebut sebagai pemain masa
depan Indonesia sejak ia masih berusia belasan. Ketika itu kemunculannya
(bersama Sony Dwi Kuncoro) diharapkan mampu melapis dan menjadi
penerima tongkat estafet dari Taufik Hidayat yang saat itu tengah berada
di puncak karirnya.
Simon terus berjuang dari tahun ke tahun. Statusnya sebagai tunggal
putra nomor tiga Indonesia mulai bergeser ke posisi kedua dan akhirnya
sempat memegang tampuk sebagai tunggal putra dengan peringkat BWF
tertinggi di Indonesia. Sejumlah prestasi ia ukir namun gunung prestasi
yang Simon buat tak pernah bisa melampaui atau bahkan sekedar mendekati
gunung prestasi yang telah dibuat oleh Taufik. Simon tetap dianggap
gagal dalam upaya menembus persaingan papan atas dunia yang dikendalikan
oleh Lin Dan dan Lee Chong Wei selama ini.
Adalah benar bahwa Simon sudah diberikan cukup waktu oleh pelatnas
Cipayung untuk unjuk gigi dan Simon telah gagal mewujudkan harapan
banyak orang Indonesia untuk melihat Indonesia kembali memiliki tunggal
putra nomor satu dunia. Namun masalah ini bukan hanya masalah Simon
sendiri melainkan masalah sektor tunggal putra pelatnas secara
keseluruhan.
Sejak Indonesia menancapkan kukunya di kancah perbulu tangkisan
dunia, sektor tunggal putra Indonesia terus menghadirkan nama-nama
besar. Tan Joe Hok, Ferry Sonneville, Rudi Hartono, Liem Swie King, Icuk
Sugiarto, Hastomo Arbi, Alan Budikusuma, Ardi B. Wiranata, Hariyanto
Arbi, Joko Suprianto, Hendrawan, hingga Taufik. Nama Taufik itulah
kemudian dianggap sebagai nama terakhir yang mampu mempertahankan
supremasi tunggal putra Indonesia dalam persaingan bulu tangkis dunia.
Simon memang gagal mengemban tanggung jawab sebagai pewaris nomor
tunggal putra Indonesia namun kegagalan itu sejatinya bukan milik Simon
semata. Sejak Simon berada di pelatnas, telah banyak pula bibit-bibit
tunggal putra yang masuk dan coba untuk mengejar mimpi menjadi pebulu
tangkis tunggal putra nomor satu dunia. Namun kebanyakan dari mereka
juga gagal dalam perjalanannya dan harus dicoret keberadaannya dari
pelatnas Cipayung. Wajah skuat tunggal putra pelatnas Cipayung sendiri
terbilang sering mengalami perubahan anggota dari tahun ke tahunnya.
Sebagai gambaran, Tommy Sugiarto dan Dionysius Hayom Rumbaka yang
disebut sebagai dua tunggal putra terbaik Indonesia saat ini pun rasanya
belum melebihi level permainan terbaik Simon Santoso beberapa tahun
silam. Jika boleh dikatakan, mungkin Tommy masih ada di level yang sama
dengan performa terbaik Simon dahulu. Tommy dan juga Hayom belum
benar-benar melakukan sebuah gebrakan yang besar dalam perjalanan karir
mereka sehingga mereka layak disebut sudah mengungguli level permainan
Simon.
Di lapis bawah setelah Tommy dan Hayom, berjajar para pemain muda
pelatnas yang masih terus bekerja keras merajut mimpi mereka menjadi
tunggal putra nomor satu dunia. Jadi boleh dibilang sektor tunggal putra
memang masih akan minim andalan untuk 1-2 tahun ke depan.
Jika memang waktu Simon sudah habis di pelatnas Cipayung, maka
tantangan bagi Tommy, Hayom, dan pasukan tunggal putra lainnya adalah
melewati gunung prestasi yang telah diciptakan Simon sejauh ini. Jika
gunung prestasi yang telah dibangun Simon saja tak mampu dilewati oleh
mereka, maka jangan berharap terlalu banyak mereka bisa menggapai dan
menyamai level permainan dan gunung prestasi yang telah dibuat Taufik
Hidayat dan legenda-legenda tunggal putra lainnya.
Lalu masihkah ada ruang bagi Simon untuk bertahan di pelatnas
Cipayung? Jika berbicara jangka pendek, mungkin masih ada kesempatan
meskipun kecil. Di tahun ini, PBSI menargetkan juara pada gelaran Piala
Thomas 2014 mendatang. Sebelumnya pada tahun lalu, Rexy Mainaky sudah
menyebut bahwa komposisi pemain yang dia inginkan untuk tunggal putra di
Piala Thomas mendatang adalah Tommy dan Hayom yang akan jadi tulang
punggung utama, Sony atau Simon di pilihan selanjutnya, dan satu tempat
tersisa akan diisi oleh pemain muda.
Jika kondisi Sony selalu 100 persen fit, mungkin memang tak ada
masalah jika akhirnya Simon keluar dari pelatnas Cipayung. Namun
faktanya Sony sendiri juga rentan cedera. Jika nantinya Sony kembali
cedera saat persiapan Piala Thomas, maka PBSI pastinya akan pusing tujuh
keliling. Mengisi dua slot di luar Tommy dan Hayom dengan pemain muda?
Rasanya itu pilihan yang sangat riskan jika dibandingkan dengan target
juara yang telah dikumandangkan.
-Putra Permata Tegar Idaman-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar