Minggu, 03 April 2011

Situasi Terburuk Jelang Olimpiade

All England telah usai. Indonesia kembali harus tertunduk lesu lantaran tidak kebagian jatah gelar juara. Semakin tertunduk lesu lantaran ini adalah tahun kedelapan dimana Indonesia tidak mendapat gelar juara di turnamen yang sering disebut sebagai parameter kehebatan seorang pebulu tangkis.
Mari lupakan kegagalan di All England, karena turnamen tersebut berlangsung setiap tahun dan masih banyak kesempatan untuk memperbaiki prestasi buruk yang terjadi beberapa tahun belakangan ini. Alangkah baiknya jika PBSI mulai sekarang telah meletakkan fokus pada Olimpiade, pesta olahraga antar bangsa di dunia ini yang hanya berlangsung empat tahun sekali dan bakal dilaksanakan di London tahun depan.
Semua tahu bahwa di era modern seperti ini, Olimpiade merupakan ‘ajang’ pengganti perang. Harga diri bangsa dipertaruhkan di pagelaran ini. Atlet tak ubahnya seperti prajurit dan tentara yang siap mempertahankan kedaulatan masing-masing Negara. Untuk Indonesia sendiri, sejauh ini baru ‘pasukan’ bulu tangkis yang bisa memberikan kemenangan (emas) dalam sejarah Olimpiade.
Sayangnya, kondisi satuan tempur bulu tangkis saat ini sendiri tidaklah dalam kondisi siaga penuh saat ini. Dibandingkan dengan kondisi sebelum Olimpiade pada gelaran-gelaran sebelumnya, patutlah kita mawas diri.
Mari kita tilik sejenak ke belakang bagaimana rekam jejak atlet-atlet Indonesia dalam masa persiapan menuju Olimpiade. Pada tahun 1992, Indonesia langsung optimistis bahwa emas Olimpiade pertama bagi Indonesia akan segera lahir setelah bulu tangkis dipertandingkan. Pasalnya pada tahun 1992, Indonesia memiliki pemain jempolan macam Alan Budikusuma, Ardi B. Wiranata di tunggal putra, Susi Susanti dan Eddy Hartono/Rudy Gunawan di ganda putra. Hasilnya, dua emas perdana berhasil diboyong Indonesia lewat Alan-Susi.
Situasi sama juga terjadi di Olimpiade Atlanta 1996. Indonesia memiliki Joko Suprianto dan Hariyanto Arbi (tunggal putra), Mia Audina dan Susi (tunggal putri), Ricky Subagdja/Rexy Mainaky dan Antonius/Denny Kantono(ganda putra). Meski hanya menyabet satu emas lewat Ricky/Rexy, tradisi emas dimulai sejak saat ini.
Pada tiga helatan selanjutnya, Indonesia pun selalu memiliki pemain andalan meskipun pada akhirnya Indonesia harus puas dengan raihan satu emas saja lewat Candra Wijaya/Tony Gunawan (2000), Taufik Hidayat (2004), dan Markis Kido/Hendra Setiawan (2008). Di Sydney 2000, Indonesia memiliki pemain andalan pada nama Hendrawan, Candra/Tony, dan Tri Kusharjanto/Minarti Timur. Empat tahun kemudian di Athena, Taufik, Sony Dwi Kuncoro, Flandy Limpele/Eng Hian jadi ujung tombak. Sementara di Cina tiga tahun lalu, Markis/Hendra, plus Nova Widianto/Liliyana Natsir jadi harapan meraih emas.
Dalam rangkuman di atas, terlihat jelas bahwa pada kondisi terbaik dimana pemain Indonesia banyak menempati daftar unggulan saja, Indonesia tidak lantas mendominasi perolehan emas di cabang bulu tangkis pada Olimpide. Lalu, bagaimana dengan kondisi saat ini ? Saat dimana prestasi pemain Indonesia tengah dipertanyakan ?
Kita sudah tak memiliki pemain nomor satu dunia saat ini. Status juara dunia pun tidak ada yang mampir di pundak pemain Indonesia dalam dua penyelenggaraan terakhir. Pemain senior macam Taufik dan Markis/Hendra yang saat ini berkarir profesional masih menjadi yang terbaik dibandingkan juniornya. Sementara pelatnas sendiri belum mampu memproduksi ‘back up’ pemain muda yang diharapkan bisa muncul mendukung mereka. Posisi 10 besar dunia di lima nomor yang ada sepi pemain Indonesia. (hanya enam pemain dari 50 tempat yang tersedia, dan hanya dua yang berasal dari pelatnas).
Situasi ini jelas harus mendapat respon tanggap dari PBSI. Dengan sistem Olimpiade 2012 yang rencananya akan berganti menjadi sistem setengah kompetisi dimana ada babak penyisihan grup terlebih dulu, bakal lebih sulit untuk atlet Indonesia yang saat ini bukanlah unggulan untuk membuat kejutan. Tradisi emas pun kini berada di tepi jurang kegagalan.
Kualifikasi Olimpiade akan mulai berlangsung pada bulan Mei 2011-April 2012. Pemain-pemain yang diharapkan lolos ke Olimpiade semestinya sudah diberi perhatian khusus oleh PBSI. Namun bagaimana mungkin PBSI bisa fokus pada hal tersebut jika posisi Kabid Binpres masih lowong hingga saat ini ? Padahal jelas, bahwa Kabid Binpres adalah orang yang berwenang mengatur program pelatnas termasuk proyeksi atlet ke berbagai turnamen di luar negeri.
Olimpiade 2012 adalah pertaruhan terakhir bagi Kepengurusan era Djoko Santoso setelah mereka juga gagal membawa pulang Piala Thomas/Uber dan Piala Sudirman sejauh ini. Jika gagal membawa emas Olimpiade ? Siap-siap saja menjadi era Kepengurusan PBSI yang diingat oleh banyak orang, meskipun dalam konteks negatif.


Bekasi, 14 Maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar