Minggu, 03 April 2011

Baggio dan Cinta Pertama Saya Kepada Sepakbola


Tak mungkin bisa dilupakan, hari itu pagi di rumah suasana sudah ceria. Saya yang saat itu masih kelas 4 SD melihat Bapak begitu antusias memandangi layar kaca. Ya, saat itu di layar kaca memang World Cup 94 sedang ditayangkan secara langsung. Saya sendiri bukanlah anak yang awam dengan sepak bola. Sejak kecil, Bapak selalu mendekatkan saya dengan sepakbola, mulai dari memberikan kaos Maradona saat masih balita, memperkenalkan Sampdoria sebagai klub favoritnya, hingga mengidolakan Brasil sebagai juara Piala Dunia 1994.
Namun ternyata semua godaan yang Bapak berikan tak membuat saya jatuh cinta. Saya lebih suka memilih cinta pertama saya pada sepakbola dengan mandiri. Satu persatu pemain hebat saya amati, mulai dari Romario, Juergen Klinsmann, Hristo Stoickhov, Tomas Brolin, hingga Maradona yang saat itu berada di penghujung karirnya.
Tidak, tak satupun yang membuat hati ini tergoda. Hati ini baru berdegup kencang saat melihat tim Italia bertanding. Saya tahu Maldini, saya tahu Franco Baresi, dan saya tahu Roberto Baggio, karena dia adalah pemain terbaik setahun sebelumnya, itu yang saya baca di Koran keesokan harinya. Ya, keesokan harinya karena sehari sebelumnya saya begitu terkesima melihat sosoknya. Rambut ekor kuda jelas menjadi daya tarik paling besar dari dirinya, karena secara teknis permainan, sebagai anak delapan tahun saya pun belum tahu apa-apa.
Piala Dunia 1994 pun menjadi semakin menarik seusai saya menemukan sosok dan tim favorit yang tentu saja jatuh pada Italia. Pertandingan yang berlangsung pada Subuh atau pagi hari semakin memudahkan saya untuk mendalami kehebatan Baggio.
Bak cerita sinetron, kehebatan Baggio pun semakin meningkat seiring terus melajunya Italia. Saya semakin tergila-gila dan tak ragu untuk memilih namanya sebagai pemain favorit dalam dunia sepakbola.
Namun ternyata, apa yang diharapkan tidak selalu menjadi kenyataan. Italia yang melaju ke final dengan Baggio sebagai aktor utama gagal merengkuh trofi Piala Dunia untuk keempat kalinya dimana Baggio juga dianggap sebagai aktor utama kegagalan tersebut. Semua mencaci Baggio saat itu, tapi pendirian saya tak goyah. Dia memang tertunduk lesu usai tendangannya melayang di atas mistar, namun sosok itu justru terlihat gagah di mata saya. Meski Italia gagal juara dunia, ‘cinta’ saya terhadap Baggio justru mencapai klimaks dan mempengaruhi sikap saya terhadap dunia sepakbola di tahun-tahun berikutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar