Bayangkan jika dua mata yang kita miliki ini melihat
sekumpulan semut yang terbagi dalam lima kelompok. Jelas sulit bagi kita untuk
melihat detil gerakan satu persatu dari para semut itu. Mungkin ada beberapa
semut yang tampak menonjol di mata kita karena ia bertubuh besar atau
perangainya paling aneh. Namun yang pasti tidak akan mungkin dua mata ini bisa
mengawasi seluruh gerakan semut-semut yang ada. Jika jumlah semut itu
berkurang, maka jangkauan pengawasan kita pastinya akan bertambah.
Gambaran itu mungkin sama halnya dengan jika masyarakat
pecinta bulu tangkis melihat kondisi pelatnas bulu tangkis saat ini. Jika ditanya,
nomor mana yang saat ini tengah terpuruk di Indonesia, maka jawabannya otomatis
akan mengarah ke nomor tunggal putri di urutan pertama, ganda putri di urutan
kedua, dan tunggal putra di urutan ketiga. Nomor ganda putra dan ganda campuran
seolah berada di zona nyaman karena dianggap sudah memberikan bukti prestasi.
Nomor tunggal putri menjadi nomor yang disebut paling
terpuruk karena di zaman dulu Indonesia memiliki sosok sehebat Susi Susanti
ataupun Mia Audina. Di era 2000-an pun Indonesia memiliki Maria Kristin yang
sempat menimbulkan secercah harapan sebelum akhirnya cedera berkepanjangan. Kini,
belum ada pebulu tangkis tunggal putri yang bisa jadi andalan dan bersaing di
level elit dunia bulu tangkis.
Nomor ganda putri menerima perlakuan sedikit lebih baik dari
masyarakat pecinta bulu tangkis karena secara tradisi Indonesia tidaklah
terlalu kuat di nomor ini. Jadi, ada sedikit rasa maklum yang menemani
perjalanan nomor ganda putri meskipun saat ini torehan prestasi mereka juga
jauh menurun dibandingkan generasi-generasi sebelumnya yang setidaknya bisa
meramaikan persaingan di papan atas.
Untuk nomor tunggal putra, meski saat ini sejumlah nama ada
di papan atas, namun jika dibandingkan dengan torehan di dekade sebelumnya,
maka jelas mereka pun mengalami kemunduran. Pasalnya belum ada pemain yang
mampu menjadi ujung tombak dan andalan dalam meraih titel demi titel di setiap
turnamen besar seperti lazimnya para tunggal putra Indonesia di dekade-dekade
sebelumnya.
Lalu bagaimana dengan nomor ganda putra dan ganda campuran?
Apakah mereka telah menunjukkan konsistensi prestasi dan terhindar dari kata
kemunduran? Sejatinya tidak 100 persen benar karena dua nomor itu hanya
mengandalkan satu nama saja untuk urusan prestasi di level elit. Mohammad
Ahsan/Hendra Setiawan untuk nomor ganda putra dan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir
di nomor ganda campuran. Jika dua nama itu dikesampingkan, maka belum ada yang
benar-benar bisa jadi andalan dan siap memikul beban sebagai andalan dan
menjadi juara.
Jadi secara umum, pemain lain di nomor ganda putra dan ganda
campuran sejauh ini bernasib lebih baik dibandingkan tiga nomor lainnya karena
mereka terlindungi oleh pamor Ahsan/Hendra dan Tontowi/Liliyana. Selama dua
orang tersebut menjadi juara, maka dua nomor itu terus dianggap berhasil dan
mempertahankan status sebagai nomor andalan.
Lalu apa kaitannya dengan wacana PBSI merampingkan skuat
pelatnas pada tahun depan? Mungkin banyak yang bertanya-tanya tentang kebijakan
ini karena di satu sisi sebenarnya PBSI tidak mengalami masalah sama sekali
terkait pendanaan pemain dengan jumlah yang ada saat ini, yaitu 83 orang. Pun
begitu halnya dengan fasilitas seperti lapangan dan kamar asrama. Semuanya
masih bisa dipenuhi oleh PBSI.
Memang ada hal yang menarik dari wacana perampingan skuat
pelatnas PBSI dari 83 orang menjadi kisaran 50-an. Jika dikalkulasikan dengan
proses promosi, maka mungkin akan ada 40-50% nama yang hilang dari skuat
pelatnas tahun ini. Sebuah jumlah yang besar dan tentunya sangat signifikan.
Namun melihat bagaimana proyeksi dan bayangan skuat pelatnas di tahun depan,
maka alasan dari PBSI akan muncul ke permukaan.
Dalam proyeksi yang ada, PBSI menyebut akan ada 5 pemain
untuk nomor tunggal baik putra dan putri dan 4 pasang untuk ganda baik putra
dan putri yang kesemuanya itu merupakan pemain untuk proyeksi Thomas-Uber tahun
depan. Ditambah tiga pasang untuk nomor ganda campuran, maka dengan demikian
sudah ada 32 pemain yang terdaftar. Sisa slot setelah itu nantinya
diperuntukkan bagi pemain potensial maupun junior.
Dengan asumsi seperti itu, PBSI sepertinya tidak ingin
memberikan ruang yang lebih besar bagi para pemain di dalamnya. Mereka ingin
pemain yang ada di dalamnya benar-benar menajamkan persaingan di antara sesama
sehingga tak ada kata ‘nyaman’ dalam status mereka sebagai pemain pelatnas.
Mereka harus bisa terus masuk proyeksi tim untuk target-target besar jika tak
ingin ke depannya posisi mereka digusur oleh pemain lainnya yang berusia lebih
muda. Pemain muda pun harus terus memenuhi target antara sampai mereka dirasa
matang untuk dibebani target besar.
Jumlah pemain yang lebih sedikit ini sendiri membuat atensi
kepada tiap pemain menjadi lebih besar dibandingkan sebelumnya. Setiap
gerak-gerik para pemain dari turnamen ke turnamen akan lebih dipantau dan
diperhatikan. Dengan demikian pemain sendiri pastinya menyadari butuh usaha
lebih keras dari biasanya untuk bisa bertahan di pelatnas Cipayung. Ketika mereka
lengah, bukan tak mungkin tahun depan status pemain pelatnas bukan milik mereka
lagi.
-Putra Permata Tegar Idaman-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar