Olimpiade, ajang multi event tertinggi di dunia dimana
setiap atlet pasti memimpikan bisa tampil di sana. Tidak hanya tampil, angan
menjadi juara pun tersemat di dalam dada. Begitu lagu kebangsaan negara berhasil
diperdengarkan lantaran kehebatannya, tentu rasa haru dan bangga akan memenuhi
lubuk dan jiwa.
Dan cabang olahraga bulu tangkis sudah menjadi bagian di
Olimpiade sejak tahun 1992. Sejak tahun itu, para atlet bulu tangkis di seluruh
dunia pun punya kesempatan untuk menjadi sebab terdengarnya lagu kebangsaan
mereka di seluruh penjuru dunia. Bagi Indonesia sendiri, kesempatan itu
sangatlah berharga karena di cabang olahraga lain, Indonesia belum bisa unjuk
gigi.
Dalam periode dua puluh tahun usai bulu tangkis
dipertandingkan di Olimpiade, dunia kehilangan Indonesia Raya untuk pertama
kalinya. Tidak ada atlet bulu tangkis Indonesia yang mampu meraih medali emas,
atau bahkan sekedar menjadi penantang dengan masuk ke babak final.
Tragedi besar? Jelas! Kejutan besar? Tidak!
Bukan, gagalnya atlet bulu tangkis Indonesia di Olimpiade
kali ini bukanlah sebuah kejutan besar. Sudah banyak kalangan yang memprediksi
bahwa kegagalan bisa jadi salah satu kemungkinan terbesar yang harus dihadapi
Indonesia untuk Olimpiade kali ini. Dan sayangnya, kemungkinan itulah yang
ternyata terjadi.
Dengan makin rapinya Badminton World Federation (BWF)
mengorganisir turnamen dan mengelompokkan turnamen berdasarkan level dan
pembagian poin, maka percaturan dan peta persaingan di bulu tangkis pun mudah
terbaca. Dengan demikian, maka ajang Olimpiade akan menjadi sekedar turnamen
biasa dalam artian jalannya turnamen akan sama pada turnamen-turnamen umumnya.
Bisa dilihat, dari empat nomor minus nomor ganda putri yang
tercemar drama diskualifikasi pada penyelenggaraan tahun ini, nama-nama yang
lolos ke babak semifinal adalah nama-nama yang memang juga sudah sering menjadi
langganan babak akhir turnamen-turnamen super series. Jika ada kejutan, maka
kejutan itu mungkin hanya percikan kecil dan tetap saja nama-nama besar yang
berkuasa. Dari 16 semifinalis di empat nomor, mungkin hanya Lee Hyun Il dan Koo
Kien Keat/Tan Boon Heong terbilang keberadaannya di babak semifinal berbau
kejutan. Selebihnya, adalah nama besar yang sudah sering terdengar kiprahnya.
Indonesia? Sangat wajar jika akhirnya hanya Tontowi
Ahmad/Liliyana Natsir yang bisa menjejakkan kaki ke babak semifinal karena
memang selama ini hanya mereka yang wara-wiri di berbagai turnamen
internasional hingga babak akhir dan meraih sukses di beberapa pagelaran
turnamen. Simon Santoso memang menjadi juara di Indonesia Terbuka bulan Juni
lalu namun itu pengecualian karena di turnamen itu tak hadir nama besar macam
Lee Chong Wei dan Lin Dan.
Konsistensi prestasi di berbagai ajang super series inilah
yang saat ini tak dipunyai Indonesia. Dengan hanya Tontowi/Liliyana yang bisa
berbicara di level super series dan super series premier, maka menjadi wajar ketika
akhirnya hanya mereka yang diandalkan. Dan akan sangat wajar pula dengan hanya
satu andalan maka kemungkinan kegagalan akan menjadi besar.
Bukan salah Tontowi/Liliyana kalau Indonesia gagal
melanjutkan tradisi emas. Beban mereka teramat berat sebagai satu-satunya
andalan. Mereka sudah memberikan yang terbaik, namun nasib berkata lain. Sebagai
perbandingan, jika pada Olimpiade Atlanta 1996 dan Olimpiade Sydney 2000 dimana
Indonesia memiliki banyak andalan dan tumpuan namun akhirnya hanya menyudahi
Olimpiade dengan raihan satu emas, maka sangat logis jika kali ini Indonesia
harus mengakhiri turnamen tanpa emas. Dan bahkan tanpa medali sama sekali
karena Tontowi/Liliyana ternyata masih tak bisa melupakan kegagalan mereka di
semifinal sebelumnya saat tampil di partai perebutan perunggu.
Setelah pukulan telak ini, seharusnya Indonesia bisa memiliki
waktu lebih dalam untuk berpikir. Bahwa kegagalan selama ini jelas lantaran ada
yang salah dengan sistem di tubuh PBSI. Bahwa ada yang salah dengan perhatian
negara terhadap pembinaan bulu tangkis di negeri ini.
Djoko Santoso adalah sosok yang baik. Dirinya dengan siap
menerima permintaan beberapa pihak yang memintanya maju pada pemilihan Ketua
Umum PBSI empat tahun lalu. Namun baik saja tidak cukup, sosok Ketua Umum PBSI
mestilah harus memahami atmosfer bulu tangkis. Harus mengerti masalah dan
persoalan bulu tangkis yang ada. Ini yang tidak dimiliki Djoko dan sudah
diakuinya dalam beberapa kesempatan bahwa saat ditunjuk ia adalah orang baru di
bulu tangkis.
Karena itu, ketika masa pergantian pengurus PBSI akan datang
di akhir tahun ini, maka calon-calon yang maju sudahlah harus paham dan
mengerti kondisi bulu tangkis di negeri ini. Sehingga siapapun yang terpilih
nantinya adalah orang yang bisa langsung bergerak dan bertindak.
Pemerintah pun harus lebih aktif saat ini. Tak ada medali
dari kontingen bulu tangkis jelas merupakan sebuah tamparan besar. Selama ini
Pemerintah baru mendukung PBSI jika terkait dengan program-program multi event
sedangkan untuk proyek jangka panjang misalkan pengiriman pemain ke turnamen
reguler, pemerintah masih belum ambil peran. Tidak hanya itu, Pelatnas Cipayung
sendiri perlu peremajaan mengingat sudah lebih 20 tahun bangunan tersebut
berdiri dan sarana dan infrastruktur di dalamnya perlu penambahan dan
pembenahan agar bisa menunjang para atlet dengan maksimal. Selamat bekerja keras
untuk kebangkitan bulu tangkis Indonesia!
-Putra Permata Tegar Idaman-
-Putra Permata Tegar Idaman-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar