Minggu, 05 Agustus 2012

Bulu Tangkis di Olimpiade = Sebuah Turnamen Biasa


Olimpiade, ajang multi event tertinggi di dunia dimana setiap atlet pasti memimpikan bisa tampil di sana. Tidak hanya tampil, angan menjadi juara pun tersemat di dalam dada. Begitu lagu kebangsaan negara berhasil diperdengarkan lantaran kehebatannya, tentu rasa haru dan bangga akan memenuhi lubuk dan jiwa.
Dan cabang olahraga bulu tangkis sudah menjadi bagian di Olimpiade sejak tahun 1992. Sejak tahun itu, para atlet bulu tangkis di seluruh dunia pun punya kesempatan untuk menjadi sebab terdengarnya lagu kebangsaan mereka di seluruh penjuru dunia. Bagi Indonesia sendiri, kesempatan itu sangatlah berharga karena di cabang olahraga lain, Indonesia belum bisa unjuk gigi.

Dalam periode dua puluh tahun usai bulu tangkis dipertandingkan di Olimpiade, dunia kehilangan Indonesia Raya untuk pertama kalinya. Tidak ada atlet bulu tangkis Indonesia yang mampu meraih medali emas, atau bahkan sekedar menjadi penantang dengan masuk ke babak final.

Tragedi besar? Jelas! Kejutan besar? Tidak! 

Bukan, gagalnya atlet bulu tangkis Indonesia di Olimpiade kali ini bukanlah sebuah kejutan besar. Sudah banyak kalangan yang memprediksi bahwa kegagalan bisa jadi salah satu kemungkinan terbesar yang harus dihadapi Indonesia untuk Olimpiade kali ini. Dan sayangnya, kemungkinan itulah yang ternyata terjadi.
Dengan makin rapinya Badminton World Federation (BWF) mengorganisir turnamen dan mengelompokkan turnamen berdasarkan level dan pembagian poin, maka percaturan dan peta persaingan di bulu tangkis pun mudah terbaca. Dengan demikian, maka ajang Olimpiade akan menjadi sekedar turnamen biasa dalam artian jalannya turnamen akan sama pada turnamen-turnamen umumnya.

Bisa dilihat, dari empat nomor minus nomor ganda putri yang tercemar drama diskualifikasi pada penyelenggaraan tahun ini, nama-nama yang lolos ke babak semifinal adalah nama-nama yang memang juga sudah sering menjadi langganan babak akhir turnamen-turnamen super series. Jika ada kejutan, maka kejutan itu mungkin hanya percikan kecil dan tetap saja nama-nama besar yang berkuasa. Dari 16 semifinalis di empat nomor, mungkin hanya Lee Hyun Il dan Koo Kien Keat/Tan Boon Heong terbilang keberadaannya di babak semifinal berbau kejutan. Selebihnya, adalah nama besar yang sudah sering terdengar kiprahnya.
Indonesia? Sangat wajar jika akhirnya hanya Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir yang bisa menjejakkan kaki ke babak semifinal karena memang selama ini hanya mereka yang wara-wiri di berbagai turnamen internasional hingga babak akhir dan meraih sukses di beberapa pagelaran turnamen. Simon Santoso memang menjadi juara di Indonesia Terbuka bulan Juni lalu namun itu pengecualian karena di turnamen itu tak hadir nama besar macam Lee Chong Wei dan Lin Dan.

Konsistensi prestasi di berbagai ajang super series inilah yang saat ini tak dipunyai Indonesia. Dengan hanya Tontowi/Liliyana yang bisa berbicara di level super series dan super series premier, maka menjadi wajar ketika akhirnya hanya mereka yang diandalkan. Dan akan sangat wajar pula dengan hanya satu andalan maka kemungkinan kegagalan akan menjadi besar.

Bukan salah Tontowi/Liliyana kalau Indonesia gagal melanjutkan tradisi emas. Beban mereka teramat berat sebagai satu-satunya andalan. Mereka sudah memberikan yang terbaik, namun nasib berkata lain. Sebagai perbandingan, jika pada Olimpiade Atlanta 1996 dan Olimpiade Sydney 2000 dimana Indonesia memiliki banyak andalan dan tumpuan namun akhirnya hanya menyudahi Olimpiade dengan raihan satu emas, maka sangat logis jika kali ini Indonesia harus mengakhiri turnamen tanpa emas. Dan bahkan tanpa medali sama sekali karena Tontowi/Liliyana ternyata masih tak bisa melupakan kegagalan mereka di semifinal sebelumnya saat tampil di partai perebutan perunggu.

Setelah pukulan telak ini, seharusnya Indonesia bisa memiliki waktu lebih dalam untuk berpikir. Bahwa kegagalan selama ini jelas lantaran ada yang salah dengan sistem di tubuh PBSI. Bahwa ada yang salah dengan perhatian negara terhadap pembinaan bulu tangkis di negeri ini.

Djoko Santoso adalah sosok yang baik. Dirinya dengan siap menerima permintaan beberapa pihak yang memintanya maju pada pemilihan Ketua Umum PBSI empat tahun lalu. Namun baik saja tidak cukup, sosok Ketua Umum PBSI mestilah harus memahami atmosfer bulu tangkis. Harus mengerti masalah dan persoalan bulu tangkis yang ada. Ini yang tidak dimiliki Djoko dan sudah diakuinya dalam beberapa kesempatan bahwa saat ditunjuk ia adalah orang baru di bulu tangkis.

Karena itu, ketika masa pergantian pengurus PBSI akan datang di akhir tahun ini, maka calon-calon yang maju sudahlah harus paham dan mengerti kondisi bulu tangkis di negeri ini. Sehingga siapapun yang terpilih nantinya adalah orang yang bisa langsung bergerak dan bertindak.

Pemerintah pun harus lebih aktif saat ini. Tak ada medali dari kontingen bulu tangkis jelas merupakan sebuah tamparan besar. Selama ini Pemerintah baru mendukung PBSI jika terkait dengan program-program multi event sedangkan untuk proyek jangka panjang misalkan pengiriman pemain ke turnamen reguler, pemerintah masih belum ambil peran. Tidak hanya itu, Pelatnas Cipayung sendiri perlu peremajaan mengingat sudah lebih 20 tahun bangunan tersebut berdiri dan sarana dan infrastruktur di dalamnya perlu penambahan dan pembenahan agar bisa menunjang para atlet dengan maksimal. Selamat bekerja keras untuk kebangkitan bulu tangkis Indonesia!

-Putra Permata Tegar Idaman-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar