Rabu, 07 Maret 2012

Berharap Berakhirnya Kutukan ‘All End-Land’




Tidak. Tak ada yang salah dari judul yang ditulis di atas.  Event All England yang berlangsung pada 6-11 Maret untuk edisi 2012 ini memang sepertinya telah berubah nama menjadi ‘All End-Land’ atau saya artikan sebagai negeri dimana semua pemain Indonesia gugur, dalam beberapa tahun terakhir. Sejak Candra Wijaya/Sigit Budiarto menggenggam mahkota pada tahun 2003, tak ada lagi ksatria-ksatria Indonesia yang sukses menggapai tahta pada tahun-tahun berikutnya. Total sudah delapan tahun Indonesia tak memiliki juara All England, sebuah ironi jika kita masih menganggap Indonesia sebagai negara bulu tangkis.

Celakanya, jika pada 3 tahun lalu dan sebelumnya kita masih bisa berharap banyak lantaran memiliki pemain-pemain mumpuni, maka untuk dua  tahun belakangan termasuk tahun ini kita pun sudah dihitung kalah sejak catatan di atas kertas. Dari daftar unggulan yang ada, hanya Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir (unggulan keempat ganda campuran) dan Mohammad Ahsan/Bona Septano (unggulan ketujuh ganda putra) yang masuk dalam daftar unggulan, di luar itu tak ada lagi para pemain Indonesia.

Dengan kondisi demikian, maka praktis hanya Tontowi/Liliyana yang benar-benar dihitung memiliki kapasitas untuk bisa menjadi juara. Itupun tidak mudah karena duo ganda Cina Zhao Yunlei/Zhang Nan dan Xu Chen Ma Jin siap menjadi penjegal utama. Belum lagi tantangan lain dari pemain macam Joachim Fischer Nielsen/Christinna Pedersen (Denmark).

Perjuangan lebih berat ada di tangan Ahsan/Bona. Jelas masih berat untuk Ahsan/Bona diharapkan mampu meruntuhkan dominasi ganda papan atas macam Cai Yun/Fu Haifeng (Cina), Jung Jae Sung/Lee Yong Dae (Korea), dan Mathias Boe/Carsten Mogensen (Denmark).

Bagaimana dengan Taufik Hidayat dan Markis Kido/Hendra Setiawan ? Menilik ambisi, jelas mereka masih memiliki gairah besar terhadap turnamen ini lantaran belum pernah memenanginya. Koleksi emas Olimpiade, status juara dunia belum mereka lengkapi dengan mahkota juara All England. Namun jika melihat kemampuan, Taufik dan Kido/Hendra pun memilih bersikap realistis terhadap situasi yang ada sekarang.
Taufik kesulitan masuk dalam rivalitas Lee Chong Wei dan Lin Dan yang terjadi selama beberapa tahun terakhir, sementara Kido/Hendra terus menunjukkan grafik menurun sejak memenangi medali emas Asian Games 2010 lalu.

Realita berubahnya All England menjadi ‘All End-Land’ bagi para pemain Indonesia pun bisa dilihat dari kekhawatiran masyarakat pencinta bulu tangkis Indonesia. Andai pada dekade 1990-an mungkin masyarakat Indonesia berbicara tentang peluang final yang mungkin bisa mempertemukan sesama pemain Indonesia, maka untuk tahun-tahun belakangan ini, kita pun sudah disibukkan oleh pertanyaan mampukah wakil-wakil Indonesia melewati babak-babak awal.

PBSI sebagai induk organisasi bulu tangkis di Indonesia pun tak berani memberikan angin surga bagi para penikmat bulu tangkis di Indonesia. Mereka memilih sikap realistis seraya berharap agar pemain bisa mengeluarkan kemampuan terbaiknya.

Memang, jika secara teknis dan kualitas kita kalah dalam hitung-hitungan di atas kertas, mari berharap bahwa All England tetap memegang sifat khas sebuah olahraga, yaitu menang-kalah tak bisa ditentukan sebelum pertandingan berakhir. Selalu ada peluang untuk Indonesia bisa tersenyum di All England tahun ini, termasuk dengan bantuan dewi fortuna yang sepertinya sudah lama tak hinggap di kubu Indonesia. Dengan begitu, All England akan kembali menjadi turnamen All England, turnamen dimana nama-nama seperti Rudy Hartono, Liem Swie King, Ade Chandra/Christian Hadinata, Susi Susanti, dan Ricky Subagdja/Rexy Mainaky pernah berkuasa, bukan berubah nama menjadi ‘All End-Land’, dimana Inggris berubah menjadi tanah petaka bagi para pebulu tangkis Indonesia.


-Putra Permata Tegar Idaman-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar